Selasa, 21 Mei 2013
Kirimkan Ini lewat EmailBlogThis!Berbagi ke TwitterBerbagi ke Facebook
Yery
Bagus Iman*
ABSTRACT
In the year 1952, the
Israel’s Ministry of International affairs, David Ben-Gurion, negotiated the
Head of Jews Conversions, Nahum Goldman, and the West Germany Chancellor,
Conrad Adanauer. Since holocaust, in the 1952, both sides signed the Reparation
Agreement. The result of that agreement, up to 2007, Germany has paid the
compensation 25 billion Euros to Israel and to the individual victim of
holocaust.
Keyword: Agreement, Holocaust
*Student at Departement of International Relations
Studies; ID 120910101035; Faculty of Social and Political Sciences; University of Jember
1.
Pendahuluan
Pada tanggal 27 September 1951, di depan parlemen Jerman Bundestag
Kanselir Adenauer membuka jalan perundingan ganti rugi Jerman-Israel, Adaunauer
berpendapat bahwa kejahatan Holokaus yang lalu merupakan kejahatan yang besar,
sehingga Jerman wajib membayar ganti rugi material dan immaterial[1].
Perundingan kemudian dilakukan enam bulan setelahnya di Belanda. Di perundingan
hadir David Ben-Gurion (Perdana Menteri Israel), Nahum Goldman (ketua Konferensi
Klaim), sebuah perhimpunan yang terdiri dari 22 organisasi Yahudi yang mewakili
korban Nazi. Setelah melakukan perundingan tesebut, Israel akhirnya menerima
sekitar 3 milyar Euro dan satu setengah milyar Euro dalam bentuk barang.
Konferensi Klaim menerima sekitar 225 juta Euro sebagai ganti rugi.
Butuh tiga belas tahun bagi Jerman dan Israel untuk menjalin hubungan
diplomatik, dan pada tahun 1965 berhasil
di wujudkan. Sejak saat itu, pemimpin kedua negara tersebut saling mengadakan
kunjungan diplomatik. Ada sebuah mosi ketidakpercayaan dari orang-orang Yahudi,
baik yang berada di dalam maupun di luar Israel tentang kesungguhan niat baik
dari Jerman. Tahun 1994 Presiden Jerman Roman Herzog melakukan kunjungan resmi
pertama ke Israel. Dan juga Perdana Menteri Israel Ehud Barak merupakan
pemimpin asing pertama yang diterima di Berlin setelah pemindahan pusat
pemerintahan Jerman dari Bonn (Ibukota Jerman Barat kala itu) pada tahun 1999.
Di masa sekarang terjadi pertentangan di dalam
internal Negara Federal Jerman dimana pihak Pemerintah Federal memberikan bantuan
terhadapa Negara Israel atas kejadian Holokaus[2]
pada masa silam. Sementara Rakyat Jerman sendiri bersikap kontra dengan
tindakan Pemerintah Federal itu, karena di mata Rakyat Jerman tindakan
permerintah tersebut di nilai Negara Israel berbuat atas kepentingannya sendiri
seperti menindas Bangsa Palestina.
2.
Pembahasan
Pemimpin Nasional Partai Demokrat
ekstrim kanan (NPD), Holger Apfel menyampaikan pidato berjudul “Tidak untuk
kerjasama dengan negara-negara bajingan- dan Akhiri kerjasama antara Saxony dan
Israel.” Banyak yang mencemooh isi pidato dari Holger, bahkan setelah waktu
berpidatonya telah habis, Holger menolak untuk turun dari panggung dan terus
mengecam Negara Yahudi. Bahkan pemimpin sidang mematikan mikrofon agar dapat
memberhentikan pidato dari Holger dan pemimpin sidang menginstruksikan petugas
keaman untuk mengawal Holger keluar dari sidang. Ini bukan pertama kalinya
Holger menyatakan sikap menolak kerasnya terhadap Israel dan menyerukan
Pemerintah Federal Jerman untuk memutuskan hubungan diplomatik dengan Israel.
Pada situs resmi NPD[3],
mantan neo-Nazi ini menerbitkan reaksinya terhadap insiden Mavi Marmara. Dia
mengatakan bahwa serangan yang dilakukan oleh Israel, menunjukan karakteristik
dari negara terror baru yang dilakukan oleh Israel. Holger juga menyatakan
bahwa sejak berdirinya Negara Israel pada tahun 1948 dan pengusiran jutaan
rakyat Palestina. Dia juga berkeinginan untuk memutus hubungan politik Jerman
dengan Israel dan meminta diberikan sanksi ekonomi terhadap negara zionis
tersebut.
Penyair dan peraih hadiah Nobel asal Jerman, Gunter Grass menyulut
kemarahan dari pihak Israel. Karena puisi dari Gunter yang berjudul “what must be said”,[4]
Gunter menulis tentang kekhawatirannya terhadap Israel yang dapat memusnahkan
seluruh rakyat Iran, terkait dengan sengketa antara Israel dengan Iran yang
dipicu oleh program nuklir Teheran. Banyak pro dan kontra atas puisi buatan
Gunter. Salah satu pihak yang mendukung Gunter adalah Negara Iran. Wakil
Menteri Kebudayaan Iran , Javad Shamaqdari, memuji puisi buatan Gunter dengan
mengatakan isinya secara indah memperingatkan akan tindakan yang keterlaluan
oleh Israel. Sebaliknya penolakan berasal dari Menteri Luar Negeri Israel,
Avigdor Lieberman. Avigdor mengatakan bahwa puisi yang dibuat oleh Gunter tidak
lain adalah sinisme dari kaum intelektual barat dengan mengorbankan kepentingan
orang-orang Yahudi. Koran Bild memuat pernyataan dari Menteri Luar Negeri
Jerman, Guido Westerwelle. Dia menyayangkan puisi yang dibuat oleh Gunter,
meski dia tidak secara eksplisit menyebut nama.
Namun Pemerintah Federal Jerman
menyatakan sikap yang mendukung Negara Israel. Pada tahun 2010, Presiden Jerman
saat itu, Christian Wulff, mengatakan bahwa negaranya memiliki komitmen jangka
panjang untuk melindungi Negara Israel. Dalam kunjungan pertamanya ke Israel,
sejak menjabat sebagai presiden Juli 2010 lalu, Wulff mengadakan pembicaraan
dengan Presiden Negara Israel, Shimon Peres. Pembicaraan tersebut membahas
tentang komitmen Jerman untuk bertanggung jawab terhadap keamanan Israel.
Shimon Peres menyambut baik komitmen Jerman dan menyebut hubungan negara
Zionisnya dengan Jerman merupakan hubungan paling penting dari yang pernah
terjadi di antara kedua negara. Dibahas juga beberapa isu yang mencuat dalam
pertemuan ini, termasuk mengenai berbagai macam dalih untuk melandasi negoisasi
damai antara Israel dengan bangsa Palestina. Di penghujung tahun 2012, Kanselir
Jerman, Angela Merkel menyatakan bahwa Jerman akan terus mendukung Israel,
meski pasca agresi terbaru yang dilakukan oleh Israel ke Jalur Gaza dan
menewaskan puluhan perempuan dan anak-anak Palestina. Angela Merkel berkomentar
bahwa Israel bukan hanya berhak melainkan wajib melindungi warganya. Komentar
itu muncul selang dua hari setelah Jerman menyatakan abstain dalam pemungutan
suara di PBB terkait soal peningkatan status keanggotaan Palestina di lembaga
internasional tersebut. Alasan Jerman abstain dalam pemungutan suara karena
pihak Jerman khawatir resolusi PBB akan mempersulit perundingan antara Israel
dan Palestina. Menteri Luar Negeri Jerman, Guido Westerwlle dalam sebuah
pernyataan (29/12) mengatakan bahwa
Jerman tidak menganggap remeh keputusan abstain dalam pemungutan suara
itu, Jerman juga peduli akan terhadap tujuan Negara Palestina. Dan Guido
berpendapat jika kedamaian antara Israel
dengan Palestina hanya bisa diseleseikan dengan perundingan. Pada hari kami itu
juga, 193 anggota Majelis Umum PBB meyetujui peningkatan status keanggotaan
Palestina menjadi negara pemantau dengan hasil voting, 138 suara setuju,
Sembilan menentang, dan 41 suara menyatakan abstain. Lantaran sikap Jerman yang
abstain dalam pemungutan suara tersebut, Menteri Luar Negeri Israel, Benyamin
Netanyahu dan para menterinya akan berkunjung ke Jerman pada kamis mendatang
untuk membicarakan sejumlah masalah termasuk di sektor keamanan dan juga terkait
alasan Jerman menyatakan Abstain dalam pemungutan suara di sidang Majelis Umum
PBB itu.
Bukti lain dari Jerman mendukung
segala urusan dari Negara Israel adalah terungkap bahwa Jerman memasok kapal
selam berkemampuan nuklir untuk Israel[5].
Proyek ini tidak murni dari uang Negara Israel melainkan ada donasi uang Jerman
yang diambil dari pajak warga Jerman. Ada dua sosok yang berpengaruh dalam
mengawali kesepakatan perjanjian kapal selam, ialh Helmut Kohl dan Yithzak
Rabin. Rabin sendiri pernah memimpin tentara Israel menuju kemenangan, sebgai
komandan pasukan gabungan, Pertempuran Enam Hari 1967. Pada 1984, Rabin kembali
masuk kabinet sebagai menteri pertahanan, setelah sebelumnya ia menjadi perdana
menteri pada pertengahan 1960-an. Rabin mengerti tentang situasi yang dihadapi
Pemerintah Jerman di Bonn, yang baru saja mengesahkan ‘prinsip politik baru’
dalam ekspor senjata, tepatnya tahun 1982. Menurut kebijakan baru tersebut,[6]
penjualan senjata tidak boleh berkontribusi dalam peningkatan ketegangan yang
telah ada. Kebijakan tersebut akhirnya memungkinkan pengiriman kapal selam yang
dibuat oleh Jerman ke Israel. Menteri Luar Negeri Jerman waktu itu,
Han-Dietrich Genscher pernah memberikan pernyataan bahwa Pemerintahan Jerman
umumnya tak menggunakan kapal perang untuk menindas demonstrasi atau pasukan
oposisi. Pasca Perang Dunia II, sekutu melarang Jerman untuk memproduksi kapal
selam besar. Akibat larangan tersebut, Pemasok Angkatan Laut Jerman,
Howaldstwerke-Deutsce Werf AG (HDW), yang terletak di utara pelabuhan Kiel, harus mengubah focus kepada
kapal selam yang lebih kecil dengan kemampuan manuver lebih tinggi dan juga
bisa beroperasi di Baltik dan Laut Utara. Ternyata Israel mempunya minat yang
besar terhadap kapal selam yang bisa bernavigasi di perairan dangkal, seperti
di lepas pantai Libanon, di mana mereka bisa mengandalkan periskop,
mendengarkan komunikasi radio dan membandingkan suara baling-baling kapal. Banyak
juga negara yang menawari untuk memproduksi kapal selam jenis itu, seperti
Amerika Serikat, Inggris, dan Belanda. Tapi pilihan Israel jatuh pada Jerman
yang dianggap terbaik oleh Israel. Hasil dari
kesepakatan strategis antara Jerman dengan Israel adalah bahwa Jerman
menyanggupi untuk membayar bagian dari biaya pembuatan, namun perjanjian itu
secara gamblang tidak memasukkan sistem persenjataan—bagian yang semestinya
dipasok oleh Amerika Serikat. Sementara itu Pemerintahan Israel yang baru
terbentuk, masih terpecah dalam soal
pembayaran investasi tersebut.
Musim dingin 1994, sebuah
pesawat Angkatan Udara Israel mendarat di Bandara Cologne-Bonn. Di dalam
pesawat itu terdapat Perdana Menteri Yithzak Rabik, penasihat keamanan nasional
Ariel Sharon, lalu kepala Mossad, Shabtai Shawiv. Para Delegasi tersebut
diantar ke kediaman Kanselor. Di kediamannya, Kanselor Kohl sudah menunggu
bersama penasehat politiknya, Joachim Bltterlich dan kordinator intelijen,
Bernd Schmidbauer. Pertemuan itu membahas tentang rencana Perdana Menteri
Israel yang meminta kapal selam ketiga, yang diteken pada Februari 1998.[7]
Jerman turut membiayai kapal selam itu sebesar 220 juta deutsche mark saat itu.
Proyek pembuatan kapal selam
Jerman ke Israel merupakan salah satu proyek paling rahasia di barat yang
pernah ada, produksi kapal selam itu berada di Kiel, bagian utara Jerman.
Puluhan staf Israel bekerja di galangan kapal dan sangat dengan warga Jerman
yang juga bekerja, bahkan ada yang membentuk hubungan antara keluarga Israel
dengan keluarga teknisi HDW. Terlepas dari pertemanan itu, Israel selalu
memastikan tidak ada orang luar yang diizinkan untuk dekat dengan bagian
produksi kapal selam. Bahkan manajer dari Thyssen-Krupp, yang membeli HDW pada
2005 ditolak aksesnya untuk melihat bagian produksi kapal selam. Tujuan utama
dari semua orang yang terlibat ialah demi memastikan tidak ada perdebatan yang
terjadi di publik mengenai proyek itu, baik di Israel atau di Jerman. Mungkin
proyek ini dirahasiakan dari publik karena mengingat kemampuan dari fitur
khusus dalam peralatan yang digunakan oleh kapal selam kelas Dolphin[8].
Tak seperti kapal selam pada umumnya, Dolphin dilengkapi dengan tabung torpedo
yang berukuran 533 milimeter. Untuk memenuhi permintaan khusus dari Israel,
teknisi dan insinyur HDW mendesain empat tabung tambahan dengan ukuran 650
milimeter. Desain spesial yang tidak ditemukan di kapal selam mana pun di dunia
Barat. Pemerintah Jerman berpendapat dibuatnya tabung berukuran 650 milimeter
itu untuk pilihan kontainer dalam transfer pasukan khusus sekaligus ruangan
penyimpanan peralatan bebas tekanan, contoh untuk perenang tempur, yang bisa
dilepas lewat celah sempit untuk operasi rahasia.
Maret 2012, Jerman menyatakan akan menjual
kapal selam keenam kelas Dolphin kepada Israel. Kemampuan dari kapal selam
keenam ini mampu membawa hulu ledak nuklir dengan jangkauan operasi 4.500 kilometer.
Dalam konferensi persnya, Menteri Pertahanan Jerman, Thomas de Maiziere
mengumumkan keputusannya itu. Ia menyatakan bahwa sebuah kapal selam
selanjutnya akan dikirim ke Israel dan akan ada bantuan Jerman sebagian dalam
produksi kapal selam tersebut. November 2012, Pemerintah Jerman mengatakan akan
menanggung dana sebesar 135 juta Euro, atau sepertiga dari biaya kapal selam
tersebut. Sebelumnya, sudah ada tiga kapal selam kelas Dolphin yang telah
dikirim ke Israel antara 1998 dan 2000. Pada tahun 2006, Israel memesan dua
kapal selam keempat dan kelima yang lebih maju teknologinya. Direncanakan kapal
selam keempat akan dikirimkan pada tahun 2013. Dan untuk kapal selam kelima dan
keenam pada pada rentang waktu antara 2014-2016.
3.
Kesimpulan
Penulis menolak sikap Jerman yang menandatangani perjanjian ganti rugi
terhadap Israel. Meskipun pada masa silam, terdapat kasus Holokaus yang
melibatkan nama Negara Jerman. Di kasus Holokaus itu yang menjadi pelaku utama
adalah NAZI bukan Jerman. Dan tidak sepantasnya Israel tetap meminta ganti rugi
dari kejadian Holokaus tersebut, karena kejadian tersebut tidak murni kesalahan
dari Jerman. Jerman harusnya mempunyai sikap tegas dalam hubungannya dengan
Israel. Jika Jerman tegas dalam mengambil sikap terhadap Israel, mungkin Israel
akan kehilangan pengaruh di kancah Internasional, karena Israel telah
kehilangan sekutu dan negara pemasok kapal selamnya, yaitu Jerman.
Tinjauan
Pustaka
Internet
-http://www.republika.co.id
-http://www.kaskus.co.id
-http://www.suaramedia.com
- http://id.wikipedia.org
[8]http://www.kaskus.co.id/post/000000000000000740305408#post000000000000000740305408 16 Februari 2013 13:56
0 komentar:
Posting Komentar