Selasa, 21 Mei 2013

HUBUNGAN JERMAN DENGAN ISRAEL: 60 TAHUN PERJANJIAN GANTI RUGI JERMAN DENGAN ISRAEL (THE RELATIONS BETWEEN GERMANY AND ISRAEL: 60 YEARS COMPENSATION AGREEMENT OF GERMANY WITH ISRAEL)



       Yery Bagus Iman*
                                                             


ABSTRACT

In the year 1952, the Israel’s Ministry of International affairs, David Ben-Gurion, negotiated the Head of Jews Conversions, Nahum Goldman, and the West Germany Chancellor, Conrad Adanauer. Since holocaust, in the 1952, both sides signed the Reparation Agreement. The result of that agreement, up to 2007, Germany has paid the compensation 25 billion Euros to Israel and to the individual victim of holocaust.

         Keyword: Agreement, Holocaust





*Student at Departement of International Relations Studies; ID 120910101035; Faculty of Social and Political Sciences; University of Jember


1.      Pendahuluan
   Pada tanggal 27 September 1951, di depan parlemen Jerman Bundestag Kanselir Adenauer membuka jalan perundingan ganti rugi Jerman-Israel, Adaunauer berpendapat bahwa kejahatan Holokaus yang lalu merupakan kejahatan yang besar, sehingga Jerman wajib membayar ganti rugi material dan immaterial[1]. Perundingan kemudian dilakukan enam bulan setelahnya di Belanda. Di perundingan hadir David Ben-Gurion (Perdana Menteri Israel), Nahum Goldman (ketua Konferensi Klaim), sebuah perhimpunan yang terdiri dari 22 organisasi Yahudi yang mewakili korban Nazi. Setelah melakukan perundingan tesebut, Israel akhirnya menerima sekitar 3 milyar Euro dan satu setengah milyar Euro dalam bentuk barang. Konferensi Klaim menerima sekitar 225 juta Euro sebagai ganti rugi.
     Butuh tiga belas tahun bagi Jerman dan Israel untuk menjalin hubungan diplomatik, dan pada tahun 1965  berhasil di wujudkan. Sejak saat itu, pemimpin kedua negara tersebut saling mengadakan kunjungan diplomatik. Ada sebuah mosi ketidakpercayaan dari orang-orang Yahudi, baik yang berada di dalam maupun di luar Israel tentang kesungguhan niat baik dari Jerman. Tahun 1994 Presiden Jerman Roman Herzog melakukan kunjungan resmi pertama ke Israel. Dan juga Perdana Menteri Israel Ehud Barak merupakan pemimpin asing pertama yang diterima di Berlin setelah pemindahan pusat pemerintahan Jerman dari Bonn (Ibukota Jerman Barat kala itu) pada tahun 1999.
Di masa sekarang terjadi pertentangan di dalam internal Negara Federal Jerman dimana pihak Pemerintah Federal memberikan bantuan terhadapa Negara Israel atas kejadian Holokaus[2] pada masa silam. Sementara Rakyat Jerman sendiri bersikap kontra dengan tindakan Pemerintah Federal itu, karena di mata Rakyat Jerman tindakan permerintah tersebut di nilai Negara Israel berbuat atas kepentingannya sendiri seperti menindas Bangsa Palestina.

2.       Pembahasan
               Pemimpin Nasional Partai Demokrat ekstrim kanan (NPD), Holger Apfel menyampaikan pidato berjudul “Tidak untuk kerjasama dengan negara-negara bajingan- dan Akhiri kerjasama antara Saxony dan Israel.” Banyak yang mencemooh isi pidato dari Holger, bahkan setelah waktu berpidatonya telah habis, Holger menolak untuk turun dari panggung dan terus mengecam Negara Yahudi. Bahkan pemimpin sidang mematikan mikrofon agar dapat memberhentikan pidato dari Holger dan pemimpin sidang menginstruksikan petugas keaman untuk mengawal Holger keluar dari sidang. Ini bukan pertama kalinya Holger menyatakan sikap menolak kerasnya terhadap Israel dan menyerukan Pemerintah Federal Jerman untuk memutuskan hubungan diplomatik dengan Israel. Pada situs resmi NPD[3], mantan neo-Nazi ini menerbitkan reaksinya terhadap insiden Mavi Marmara. Dia mengatakan bahwa serangan yang dilakukan oleh Israel, menunjukan karakteristik dari negara terror baru yang dilakukan oleh Israel. Holger juga menyatakan bahwa sejak berdirinya Negara Israel pada tahun 1948 dan pengusiran jutaan rakyat Palestina. Dia juga berkeinginan untuk memutus hubungan politik Jerman dengan Israel dan meminta diberikan sanksi ekonomi terhadap negara zionis tersebut.
               Penyair dan peraih hadiah Nobel asal Jerman, Gunter Grass menyulut kemarahan dari pihak Israel. Karena puisi dari Gunter yang berjudul “what must be said”,[4] Gunter menulis tentang kekhawatirannya terhadap Israel yang dapat memusnahkan seluruh rakyat Iran, terkait dengan sengketa antara Israel dengan Iran yang dipicu oleh program nuklir Teheran. Banyak pro dan kontra atas puisi buatan Gunter. Salah satu pihak yang mendukung Gunter adalah Negara Iran. Wakil Menteri Kebudayaan Iran , Javad Shamaqdari, memuji puisi buatan Gunter dengan mengatakan isinya secara indah memperingatkan akan tindakan yang keterlaluan oleh Israel. Sebaliknya penolakan berasal dari Menteri Luar Negeri Israel, Avigdor Lieberman. Avigdor mengatakan bahwa puisi yang dibuat oleh Gunter tidak lain adalah sinisme dari kaum intelektual barat dengan mengorbankan kepentingan orang-orang Yahudi. Koran Bild memuat pernyataan dari Menteri Luar Negeri Jerman, Guido Westerwelle. Dia menyayangkan puisi yang dibuat oleh Gunter, meski dia tidak secara eksplisit menyebut nama.
              Namun Pemerintah Federal Jerman menyatakan sikap yang mendukung Negara Israel. Pada tahun 2010, Presiden Jerman saat itu, Christian Wulff, mengatakan bahwa negaranya memiliki komitmen jangka panjang untuk melindungi Negara Israel. Dalam kunjungan pertamanya ke Israel, sejak menjabat sebagai presiden Juli 2010 lalu, Wulff mengadakan pembicaraan dengan Presiden Negara Israel, Shimon Peres. Pembicaraan tersebut membahas tentang komitmen Jerman untuk bertanggung jawab terhadap keamanan Israel. Shimon Peres menyambut baik komitmen Jerman dan menyebut hubungan negara Zionisnya dengan Jerman merupakan hubungan paling penting dari yang pernah terjadi di antara kedua negara. Dibahas juga beberapa isu yang mencuat dalam pertemuan ini, termasuk mengenai berbagai macam dalih untuk melandasi negoisasi damai antara Israel dengan bangsa Palestina. Di penghujung tahun 2012, Kanselir Jerman, Angela Merkel menyatakan bahwa Jerman akan terus mendukung Israel, meski pasca agresi terbaru yang dilakukan oleh Israel ke Jalur Gaza dan menewaskan puluhan perempuan dan anak-anak Palestina. Angela Merkel berkomentar bahwa Israel bukan hanya berhak melainkan wajib melindungi warganya. Komentar itu muncul selang dua hari setelah Jerman menyatakan abstain dalam pemungutan suara di PBB terkait soal peningkatan status keanggotaan Palestina di lembaga internasional tersebut. Alasan Jerman abstain dalam pemungutan suara karena pihak Jerman khawatir resolusi PBB akan mempersulit perundingan antara Israel dan Palestina. Menteri Luar Negeri Jerman, Guido Westerwlle dalam sebuah pernyataan (29/12) mengatakan bahwa  Jerman tidak menganggap remeh keputusan abstain dalam pemungutan suara itu, Jerman juga peduli akan terhadap tujuan Negara Palestina. Dan Guido berpendapat  jika kedamaian antara Israel dengan Palestina hanya bisa diseleseikan dengan perundingan. Pada hari kami itu juga, 193 anggota Majelis Umum PBB meyetujui peningkatan status keanggotaan Palestina menjadi negara pemantau dengan hasil voting, 138 suara setuju, Sembilan menentang, dan 41 suara menyatakan abstain. Lantaran sikap Jerman yang abstain dalam pemungutan suara tersebut, Menteri Luar Negeri Israel, Benyamin Netanyahu dan para menterinya akan berkunjung ke Jerman pada kamis mendatang untuk membicarakan sejumlah masalah termasuk di sektor keamanan dan juga terkait alasan Jerman menyatakan Abstain dalam pemungutan suara di sidang Majelis Umum PBB itu.
                       Bukti lain dari Jerman mendukung segala urusan dari Negara Israel adalah terungkap bahwa Jerman memasok kapal selam berkemampuan nuklir untuk Israel[5]. Proyek ini tidak murni dari uang Negara Israel melainkan ada donasi uang Jerman yang diambil dari pajak warga Jerman. Ada dua sosok yang berpengaruh dalam mengawali kesepakatan perjanjian kapal selam, ialh Helmut Kohl dan Yithzak Rabin. Rabin sendiri pernah memimpin tentara Israel menuju kemenangan, sebgai komandan pasukan gabungan, Pertempuran Enam Hari 1967. Pada 1984, Rabin kembali masuk kabinet sebagai menteri pertahanan, setelah sebelumnya ia menjadi perdana menteri pada pertengahan 1960-an. Rabin mengerti tentang situasi yang dihadapi Pemerintah Jerman di Bonn, yang baru saja mengesahkan ‘prinsip politik baru’ dalam ekspor senjata, tepatnya tahun 1982. Menurut kebijakan baru tersebut,[6] penjualan senjata tidak boleh berkontribusi dalam peningkatan ketegangan yang telah ada. Kebijakan tersebut akhirnya memungkinkan pengiriman kapal selam yang dibuat oleh Jerman ke Israel. Menteri Luar Negeri Jerman waktu itu, Han-Dietrich Genscher pernah memberikan pernyataan bahwa Pemerintahan Jerman umumnya tak menggunakan kapal perang untuk menindas demonstrasi atau pasukan oposisi. Pasca Perang Dunia II, sekutu melarang Jerman untuk memproduksi kapal selam besar. Akibat larangan tersebut, Pemasok Angkatan Laut Jerman, Howaldstwerke-Deutsce Werf AG (HDW), yang terletak             di utara pelabuhan Kiel, harus mengubah focus kepada kapal selam yang lebih kecil dengan kemampuan manuver lebih tinggi dan juga bisa beroperasi di Baltik dan Laut Utara. Ternyata Israel mempunya minat yang besar terhadap kapal selam yang bisa bernavigasi di perairan dangkal, seperti di lepas pantai Libanon, di mana mereka bisa mengandalkan periskop, mendengarkan komunikasi radio dan membandingkan suara baling-baling kapal. Banyak juga negara yang menawari untuk memproduksi kapal selam jenis itu, seperti Amerika Serikat, Inggris, dan Belanda. Tapi pilihan Israel jatuh pada Jerman yang dianggap terbaik oleh Israel. Hasil dari  kesepakatan strategis antara Jerman dengan Israel adalah bahwa Jerman menyanggupi untuk membayar bagian dari biaya pembuatan, namun perjanjian itu secara gamblang tidak memasukkan sistem persenjataan—bagian yang semestinya dipasok oleh Amerika Serikat. Sementara itu Pemerintahan Israel yang baru terbentuk,  masih terpecah dalam soal pembayaran investasi tersebut. 
                 Musim dingin 1994, sebuah pesawat Angkatan Udara Israel mendarat di Bandara Cologne-Bonn. Di dalam pesawat itu terdapat Perdana Menteri Yithzak Rabik, penasihat keamanan nasional Ariel Sharon, lalu kepala Mossad, Shabtai Shawiv. Para Delegasi tersebut diantar ke kediaman Kanselor. Di kediamannya, Kanselor Kohl sudah menunggu bersama penasehat politiknya, Joachim Bltterlich dan kordinator intelijen, Bernd Schmidbauer. Pertemuan itu membahas tentang rencana Perdana Menteri Israel yang meminta kapal selam ketiga, yang diteken pada Februari 1998.[7] Jerman turut membiayai kapal selam itu sebesar 220 juta deutsche mark saat itu.
               Proyek pembuatan kapal selam Jerman ke Israel merupakan salah satu proyek paling rahasia di barat yang pernah ada, produksi kapal selam itu berada di Kiel, bagian utara Jerman. Puluhan staf Israel bekerja di galangan kapal dan sangat dengan warga Jerman yang juga bekerja, bahkan ada yang membentuk hubungan antara keluarga Israel dengan keluarga teknisi HDW. Terlepas dari pertemanan itu, Israel selalu memastikan tidak ada orang luar yang diizinkan untuk dekat dengan bagian produksi kapal selam. Bahkan manajer dari Thyssen-Krupp, yang membeli HDW pada 2005 ditolak aksesnya untuk melihat bagian produksi kapal selam. Tujuan utama dari semua orang yang terlibat ialah demi memastikan tidak ada perdebatan yang terjadi di publik mengenai proyek itu, baik di Israel atau di Jerman. Mungkin proyek ini dirahasiakan dari publik karena mengingat kemampuan dari fitur khusus dalam peralatan yang digunakan oleh kapal selam kelas Dolphin[8]. Tak seperti kapal selam pada umumnya, Dolphin dilengkapi dengan tabung torpedo yang berukuran 533 milimeter. Untuk memenuhi permintaan khusus dari Israel, teknisi dan insinyur HDW mendesain empat tabung tambahan dengan ukuran 650 milimeter. Desain spesial yang tidak ditemukan di kapal selam mana pun di dunia Barat. Pemerintah Jerman berpendapat dibuatnya tabung berukuran 650 milimeter itu untuk pilihan kontainer dalam transfer pasukan khusus sekaligus ruangan penyimpanan peralatan bebas tekanan, contoh untuk perenang tempur, yang bisa dilepas lewat celah sempit untuk operasi rahasia.
     Maret 2012, Jerman menyatakan akan menjual kapal selam keenam kelas Dolphin kepada Israel. Kemampuan dari kapal selam keenam ini mampu membawa hulu ledak nuklir dengan jangkauan operasi 4.500 kilometer. Dalam konferensi persnya, Menteri Pertahanan Jerman, Thomas de Maiziere mengumumkan keputusannya itu. Ia menyatakan bahwa sebuah kapal selam selanjutnya akan dikirim ke Israel dan akan ada bantuan Jerman sebagian dalam produksi kapal selam tersebut. November 2012, Pemerintah Jerman mengatakan akan menanggung dana sebesar 135 juta Euro, atau sepertiga dari biaya kapal selam tersebut. Sebelumnya, sudah ada tiga kapal selam kelas Dolphin yang telah dikirim ke Israel antara 1998 dan 2000. Pada tahun 2006, Israel memesan dua kapal selam keempat dan kelima yang lebih maju teknologinya. Direncanakan kapal selam keempat akan dikirimkan pada tahun 2013. Dan untuk kapal selam kelima dan keenam pada pada rentang waktu antara 2014-2016.


3.      Kesimpulan 

     Penulis menolak sikap Jerman yang menandatangani perjanjian ganti rugi terhadap Israel. Meskipun pada masa silam, terdapat kasus Holokaus yang melibatkan nama Negara Jerman. Di kasus Holokaus itu yang menjadi pelaku utama adalah NAZI bukan Jerman. Dan tidak sepantasnya Israel tetap meminta ganti rugi dari kejadian Holokaus tersebut, karena kejadian tersebut tidak murni kesalahan dari Jerman. Jerman harusnya mempunyai sikap tegas dalam hubungannya dengan Israel. Jika Jerman tegas dalam mengambil sikap terhadap Israel, mungkin Israel akan kehilangan pengaruh di kancah Internasional, karena Israel telah kehilangan sekutu dan negara pemasok kapal selamnya, yaitu Jerman.

       Tinjauan Pustaka

Internet
-http://www.republika.co.id
-http://www.kaskus.co.id
-http://www.suaramedia.com
- http://id.wikipedia.org






                                     
           
                 


[3] http://www.npd.de 15 Februari 2013  21:43 WIB

0 komentar:

Posting Komentar

selamat datang

Ruang Komunikasi

Diberdayakan oleh Blogger.

ini saya

seorang cowok yang akan menjadi pria sejati dalam arti sebenarnya

Mengenai Saya

Foto saya
Surabaya, Jawa Timur, Indonesia
bismillah mewujudkan impian menjadi seorang diplomat yg jago memasak juga

Selasa, 21 Mei 2013

HUBUNGAN JERMAN DENGAN ISRAEL: 60 TAHUN PERJANJIAN GANTI RUGI JERMAN DENGAN ISRAEL (THE RELATIONS BETWEEN GERMANY AND ISRAEL: 60 YEARS COMPENSATION AGREEMENT OF GERMANY WITH ISRAEL)



       Yery Bagus Iman*
                                                             


ABSTRACT

In the year 1952, the Israel’s Ministry of International affairs, David Ben-Gurion, negotiated the Head of Jews Conversions, Nahum Goldman, and the West Germany Chancellor, Conrad Adanauer. Since holocaust, in the 1952, both sides signed the Reparation Agreement. The result of that agreement, up to 2007, Germany has paid the compensation 25 billion Euros to Israel and to the individual victim of holocaust.

         Keyword: Agreement, Holocaust





*Student at Departement of International Relations Studies; ID 120910101035; Faculty of Social and Political Sciences; University of Jember


1.      Pendahuluan
   Pada tanggal 27 September 1951, di depan parlemen Jerman Bundestag Kanselir Adenauer membuka jalan perundingan ganti rugi Jerman-Israel, Adaunauer berpendapat bahwa kejahatan Holokaus yang lalu merupakan kejahatan yang besar, sehingga Jerman wajib membayar ganti rugi material dan immaterial[1]. Perundingan kemudian dilakukan enam bulan setelahnya di Belanda. Di perundingan hadir David Ben-Gurion (Perdana Menteri Israel), Nahum Goldman (ketua Konferensi Klaim), sebuah perhimpunan yang terdiri dari 22 organisasi Yahudi yang mewakili korban Nazi. Setelah melakukan perundingan tesebut, Israel akhirnya menerima sekitar 3 milyar Euro dan satu setengah milyar Euro dalam bentuk barang. Konferensi Klaim menerima sekitar 225 juta Euro sebagai ganti rugi.
     Butuh tiga belas tahun bagi Jerman dan Israel untuk menjalin hubungan diplomatik, dan pada tahun 1965  berhasil di wujudkan. Sejak saat itu, pemimpin kedua negara tersebut saling mengadakan kunjungan diplomatik. Ada sebuah mosi ketidakpercayaan dari orang-orang Yahudi, baik yang berada di dalam maupun di luar Israel tentang kesungguhan niat baik dari Jerman. Tahun 1994 Presiden Jerman Roman Herzog melakukan kunjungan resmi pertama ke Israel. Dan juga Perdana Menteri Israel Ehud Barak merupakan pemimpin asing pertama yang diterima di Berlin setelah pemindahan pusat pemerintahan Jerman dari Bonn (Ibukota Jerman Barat kala itu) pada tahun 1999.
Di masa sekarang terjadi pertentangan di dalam internal Negara Federal Jerman dimana pihak Pemerintah Federal memberikan bantuan terhadapa Negara Israel atas kejadian Holokaus[2] pada masa silam. Sementara Rakyat Jerman sendiri bersikap kontra dengan tindakan Pemerintah Federal itu, karena di mata Rakyat Jerman tindakan permerintah tersebut di nilai Negara Israel berbuat atas kepentingannya sendiri seperti menindas Bangsa Palestina.

2.       Pembahasan
               Pemimpin Nasional Partai Demokrat ekstrim kanan (NPD), Holger Apfel menyampaikan pidato berjudul “Tidak untuk kerjasama dengan negara-negara bajingan- dan Akhiri kerjasama antara Saxony dan Israel.” Banyak yang mencemooh isi pidato dari Holger, bahkan setelah waktu berpidatonya telah habis, Holger menolak untuk turun dari panggung dan terus mengecam Negara Yahudi. Bahkan pemimpin sidang mematikan mikrofon agar dapat memberhentikan pidato dari Holger dan pemimpin sidang menginstruksikan petugas keaman untuk mengawal Holger keluar dari sidang. Ini bukan pertama kalinya Holger menyatakan sikap menolak kerasnya terhadap Israel dan menyerukan Pemerintah Federal Jerman untuk memutuskan hubungan diplomatik dengan Israel. Pada situs resmi NPD[3], mantan neo-Nazi ini menerbitkan reaksinya terhadap insiden Mavi Marmara. Dia mengatakan bahwa serangan yang dilakukan oleh Israel, menunjukan karakteristik dari negara terror baru yang dilakukan oleh Israel. Holger juga menyatakan bahwa sejak berdirinya Negara Israel pada tahun 1948 dan pengusiran jutaan rakyat Palestina. Dia juga berkeinginan untuk memutus hubungan politik Jerman dengan Israel dan meminta diberikan sanksi ekonomi terhadap negara zionis tersebut.
               Penyair dan peraih hadiah Nobel asal Jerman, Gunter Grass menyulut kemarahan dari pihak Israel. Karena puisi dari Gunter yang berjudul “what must be said”,[4] Gunter menulis tentang kekhawatirannya terhadap Israel yang dapat memusnahkan seluruh rakyat Iran, terkait dengan sengketa antara Israel dengan Iran yang dipicu oleh program nuklir Teheran. Banyak pro dan kontra atas puisi buatan Gunter. Salah satu pihak yang mendukung Gunter adalah Negara Iran. Wakil Menteri Kebudayaan Iran , Javad Shamaqdari, memuji puisi buatan Gunter dengan mengatakan isinya secara indah memperingatkan akan tindakan yang keterlaluan oleh Israel. Sebaliknya penolakan berasal dari Menteri Luar Negeri Israel, Avigdor Lieberman. Avigdor mengatakan bahwa puisi yang dibuat oleh Gunter tidak lain adalah sinisme dari kaum intelektual barat dengan mengorbankan kepentingan orang-orang Yahudi. Koran Bild memuat pernyataan dari Menteri Luar Negeri Jerman, Guido Westerwelle. Dia menyayangkan puisi yang dibuat oleh Gunter, meski dia tidak secara eksplisit menyebut nama.
              Namun Pemerintah Federal Jerman menyatakan sikap yang mendukung Negara Israel. Pada tahun 2010, Presiden Jerman saat itu, Christian Wulff, mengatakan bahwa negaranya memiliki komitmen jangka panjang untuk melindungi Negara Israel. Dalam kunjungan pertamanya ke Israel, sejak menjabat sebagai presiden Juli 2010 lalu, Wulff mengadakan pembicaraan dengan Presiden Negara Israel, Shimon Peres. Pembicaraan tersebut membahas tentang komitmen Jerman untuk bertanggung jawab terhadap keamanan Israel. Shimon Peres menyambut baik komitmen Jerman dan menyebut hubungan negara Zionisnya dengan Jerman merupakan hubungan paling penting dari yang pernah terjadi di antara kedua negara. Dibahas juga beberapa isu yang mencuat dalam pertemuan ini, termasuk mengenai berbagai macam dalih untuk melandasi negoisasi damai antara Israel dengan bangsa Palestina. Di penghujung tahun 2012, Kanselir Jerman, Angela Merkel menyatakan bahwa Jerman akan terus mendukung Israel, meski pasca agresi terbaru yang dilakukan oleh Israel ke Jalur Gaza dan menewaskan puluhan perempuan dan anak-anak Palestina. Angela Merkel berkomentar bahwa Israel bukan hanya berhak melainkan wajib melindungi warganya. Komentar itu muncul selang dua hari setelah Jerman menyatakan abstain dalam pemungutan suara di PBB terkait soal peningkatan status keanggotaan Palestina di lembaga internasional tersebut. Alasan Jerman abstain dalam pemungutan suara karena pihak Jerman khawatir resolusi PBB akan mempersulit perundingan antara Israel dan Palestina. Menteri Luar Negeri Jerman, Guido Westerwlle dalam sebuah pernyataan (29/12) mengatakan bahwa  Jerman tidak menganggap remeh keputusan abstain dalam pemungutan suara itu, Jerman juga peduli akan terhadap tujuan Negara Palestina. Dan Guido berpendapat  jika kedamaian antara Israel dengan Palestina hanya bisa diseleseikan dengan perundingan. Pada hari kami itu juga, 193 anggota Majelis Umum PBB meyetujui peningkatan status keanggotaan Palestina menjadi negara pemantau dengan hasil voting, 138 suara setuju, Sembilan menentang, dan 41 suara menyatakan abstain. Lantaran sikap Jerman yang abstain dalam pemungutan suara tersebut, Menteri Luar Negeri Israel, Benyamin Netanyahu dan para menterinya akan berkunjung ke Jerman pada kamis mendatang untuk membicarakan sejumlah masalah termasuk di sektor keamanan dan juga terkait alasan Jerman menyatakan Abstain dalam pemungutan suara di sidang Majelis Umum PBB itu.
                       Bukti lain dari Jerman mendukung segala urusan dari Negara Israel adalah terungkap bahwa Jerman memasok kapal selam berkemampuan nuklir untuk Israel[5]. Proyek ini tidak murni dari uang Negara Israel melainkan ada donasi uang Jerman yang diambil dari pajak warga Jerman. Ada dua sosok yang berpengaruh dalam mengawali kesepakatan perjanjian kapal selam, ialh Helmut Kohl dan Yithzak Rabin. Rabin sendiri pernah memimpin tentara Israel menuju kemenangan, sebgai komandan pasukan gabungan, Pertempuran Enam Hari 1967. Pada 1984, Rabin kembali masuk kabinet sebagai menteri pertahanan, setelah sebelumnya ia menjadi perdana menteri pada pertengahan 1960-an. Rabin mengerti tentang situasi yang dihadapi Pemerintah Jerman di Bonn, yang baru saja mengesahkan ‘prinsip politik baru’ dalam ekspor senjata, tepatnya tahun 1982. Menurut kebijakan baru tersebut,[6] penjualan senjata tidak boleh berkontribusi dalam peningkatan ketegangan yang telah ada. Kebijakan tersebut akhirnya memungkinkan pengiriman kapal selam yang dibuat oleh Jerman ke Israel. Menteri Luar Negeri Jerman waktu itu, Han-Dietrich Genscher pernah memberikan pernyataan bahwa Pemerintahan Jerman umumnya tak menggunakan kapal perang untuk menindas demonstrasi atau pasukan oposisi. Pasca Perang Dunia II, sekutu melarang Jerman untuk memproduksi kapal selam besar. Akibat larangan tersebut, Pemasok Angkatan Laut Jerman, Howaldstwerke-Deutsce Werf AG (HDW), yang terletak             di utara pelabuhan Kiel, harus mengubah focus kepada kapal selam yang lebih kecil dengan kemampuan manuver lebih tinggi dan juga bisa beroperasi di Baltik dan Laut Utara. Ternyata Israel mempunya minat yang besar terhadap kapal selam yang bisa bernavigasi di perairan dangkal, seperti di lepas pantai Libanon, di mana mereka bisa mengandalkan periskop, mendengarkan komunikasi radio dan membandingkan suara baling-baling kapal. Banyak juga negara yang menawari untuk memproduksi kapal selam jenis itu, seperti Amerika Serikat, Inggris, dan Belanda. Tapi pilihan Israel jatuh pada Jerman yang dianggap terbaik oleh Israel. Hasil dari  kesepakatan strategis antara Jerman dengan Israel adalah bahwa Jerman menyanggupi untuk membayar bagian dari biaya pembuatan, namun perjanjian itu secara gamblang tidak memasukkan sistem persenjataan—bagian yang semestinya dipasok oleh Amerika Serikat. Sementara itu Pemerintahan Israel yang baru terbentuk,  masih terpecah dalam soal pembayaran investasi tersebut. 
                 Musim dingin 1994, sebuah pesawat Angkatan Udara Israel mendarat di Bandara Cologne-Bonn. Di dalam pesawat itu terdapat Perdana Menteri Yithzak Rabik, penasihat keamanan nasional Ariel Sharon, lalu kepala Mossad, Shabtai Shawiv. Para Delegasi tersebut diantar ke kediaman Kanselor. Di kediamannya, Kanselor Kohl sudah menunggu bersama penasehat politiknya, Joachim Bltterlich dan kordinator intelijen, Bernd Schmidbauer. Pertemuan itu membahas tentang rencana Perdana Menteri Israel yang meminta kapal selam ketiga, yang diteken pada Februari 1998.[7] Jerman turut membiayai kapal selam itu sebesar 220 juta deutsche mark saat itu.
               Proyek pembuatan kapal selam Jerman ke Israel merupakan salah satu proyek paling rahasia di barat yang pernah ada, produksi kapal selam itu berada di Kiel, bagian utara Jerman. Puluhan staf Israel bekerja di galangan kapal dan sangat dengan warga Jerman yang juga bekerja, bahkan ada yang membentuk hubungan antara keluarga Israel dengan keluarga teknisi HDW. Terlepas dari pertemanan itu, Israel selalu memastikan tidak ada orang luar yang diizinkan untuk dekat dengan bagian produksi kapal selam. Bahkan manajer dari Thyssen-Krupp, yang membeli HDW pada 2005 ditolak aksesnya untuk melihat bagian produksi kapal selam. Tujuan utama dari semua orang yang terlibat ialah demi memastikan tidak ada perdebatan yang terjadi di publik mengenai proyek itu, baik di Israel atau di Jerman. Mungkin proyek ini dirahasiakan dari publik karena mengingat kemampuan dari fitur khusus dalam peralatan yang digunakan oleh kapal selam kelas Dolphin[8]. Tak seperti kapal selam pada umumnya, Dolphin dilengkapi dengan tabung torpedo yang berukuran 533 milimeter. Untuk memenuhi permintaan khusus dari Israel, teknisi dan insinyur HDW mendesain empat tabung tambahan dengan ukuran 650 milimeter. Desain spesial yang tidak ditemukan di kapal selam mana pun di dunia Barat. Pemerintah Jerman berpendapat dibuatnya tabung berukuran 650 milimeter itu untuk pilihan kontainer dalam transfer pasukan khusus sekaligus ruangan penyimpanan peralatan bebas tekanan, contoh untuk perenang tempur, yang bisa dilepas lewat celah sempit untuk operasi rahasia.
     Maret 2012, Jerman menyatakan akan menjual kapal selam keenam kelas Dolphin kepada Israel. Kemampuan dari kapal selam keenam ini mampu membawa hulu ledak nuklir dengan jangkauan operasi 4.500 kilometer. Dalam konferensi persnya, Menteri Pertahanan Jerman, Thomas de Maiziere mengumumkan keputusannya itu. Ia menyatakan bahwa sebuah kapal selam selanjutnya akan dikirim ke Israel dan akan ada bantuan Jerman sebagian dalam produksi kapal selam tersebut. November 2012, Pemerintah Jerman mengatakan akan menanggung dana sebesar 135 juta Euro, atau sepertiga dari biaya kapal selam tersebut. Sebelumnya, sudah ada tiga kapal selam kelas Dolphin yang telah dikirim ke Israel antara 1998 dan 2000. Pada tahun 2006, Israel memesan dua kapal selam keempat dan kelima yang lebih maju teknologinya. Direncanakan kapal selam keempat akan dikirimkan pada tahun 2013. Dan untuk kapal selam kelima dan keenam pada pada rentang waktu antara 2014-2016.


3.      Kesimpulan 

     Penulis menolak sikap Jerman yang menandatangani perjanjian ganti rugi terhadap Israel. Meskipun pada masa silam, terdapat kasus Holokaus yang melibatkan nama Negara Jerman. Di kasus Holokaus itu yang menjadi pelaku utama adalah NAZI bukan Jerman. Dan tidak sepantasnya Israel tetap meminta ganti rugi dari kejadian Holokaus tersebut, karena kejadian tersebut tidak murni kesalahan dari Jerman. Jerman harusnya mempunyai sikap tegas dalam hubungannya dengan Israel. Jika Jerman tegas dalam mengambil sikap terhadap Israel, mungkin Israel akan kehilangan pengaruh di kancah Internasional, karena Israel telah kehilangan sekutu dan negara pemasok kapal selamnya, yaitu Jerman.

       Tinjauan Pustaka

Internet
-http://www.republika.co.id
-http://www.kaskus.co.id
-http://www.suaramedia.com
- http://id.wikipedia.org






                                     
           
                 


[3] http://www.npd.de 15 Februari 2013  21:43 WIB

 
Template Indonesia | Mr.Brightside
Aku cinta Indonesia